Tiga Mukim di Pidie Menanti Penetapan Hutan Adat

Salah satu kawasan hutan di Pidie, Aceh. Foto: ist.
Salah satu kawasan hutan di Pidie, Aceh. Foto: ist.

Tiga Mukim di Pidie, Aceh, yakni Mukim Beungga di Kecamatan Tangse, Mukim Paloh dan Mukim Kunyet di Kecamatan Padang Tiji, masih menanti penetapan hutan adat yang telah diusulkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak tahun 2015.


Padahal, usulan tersebut telah disepakati bersama oleh semua kepala desa dan perangkat adat yang berada di bawah Pemerintahan Mukim melalui surat pernyataan yang ditandatangan bersama ditujukan kepada KLHK.

Adapun luas hutan adat yang diusulkan di wilayah Mukim Beungga seluas 10.988 hektare, Mukim Paloh 2.921 hektare dan Mukim Kunyet 4.106 hektar.

Mukim merupakan lembaga adat terdiri dari beberapa gampong (desa). Mukim dipimpin oleh imum mukim dibantu oleh perangkat adat seperti pawang uteun (panglima adat hutan), keujruen blang (ketua adat persawahan), peutua seuneubok (ketua adat perkebunan), dan ketua adat lain dengan kearifan lokal masing-masing wilayah mukim.

Imum Mukim Paloh, Muhammad Nasir, meminta agar penetapan hutan adat di wilayah hukum adat Paloh perlu segera ditetapkan, agar hutan tersebut dapat dikelola bersama-sama oleh masyarakat.

Nasir mengatakan, negara telah mengakomodir hak masyarakat adat untuk mengelola hutan, tetapi usulan mereka hingga kini belum juga disetujui.

"Kami khawatir nantinya ada pihak lain yang masuk ke hutan dan kami tidak memiliki kewenangan apapun untuk mengawasi padahal secara historis itu adalah wilayah hutan adat yang diwariskan oleh nenek moyang," ujar Nasir, dalam keterangan tertulis, Kamis, 16 Februari 2023. 

Negara memberikan hak kelola hutan kepada masyarakat melalui lima skema perhutanan sosial yakni, hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. 

Melalui hutan adat negara memberikan hak kelola hutan sepenuhnya kepada masyarakat adat tanpa batas waktu. Dalam kata lain, hutan adat akan menjadi milik masyarakat adat, yang fungsi hutan sesuai peruntukannya masing-masing hutan.

Sementara melalui empat skema lain hak kelola dibatasi waktu maksimal 30 tahun dengan opsi izin dapat diperpanjang sekali.

Imum Mukim Beungga, Ilyas mengatakan mereka memilih mengusulkan hutan adat agar selamanya mereka dapat mengelola dan menjaga hutan.

"Kepentingan kami menjaga hutan untuk menjaga sumber mata air. Kalau hutan rusak, krisis air, bagaimana kami bertani," kata Ilyas. 

Perjuangan masyarakat hukum adat Mukim Beungga sudah dimulai sejak tahun 2007. Pada saat itu, masyarakat bersepakat agar hutan di wilayah tersebut harus dijaga dan diselamatkan.

"Kami telah berjanji kepada negara, apabila hutan adat ditetapkan, kami tidak akan mengubah fungsi hutan, kami akan menjaga hutan ini," ujar Ilyas.

Ilyas mengatakan bahwa seluruh kelembagaan adat Mukim dan masyarakat telah berkomitmen menjaga, mengelola, dan melindungi  hutan yang diusulkan sebagai hutan adat. Komitmen tersebut terbukti saat ini kawasan yang diusulkan itu tetap terjaga.

"Akan ada juga denda bagi yang melanggar, tetapi mengapa sampai sekarang penetapan belum dilakukan," kata Ilyas.

Salah satu perangkat adat di bawah Mukim adalah Pawang Uteun atau panglima hutan. Salah seorang Pawang Uteun yang berada wilayah Mukim Paloh, Ridwan Hamid mengatakan Pawang Uteun secara khusus berperan membantu Mukim dalam pengelolaan kawasan hutan berdasarkan hukum adat Mukim.

Sehingga, jika terjadi konflik antar masyarakat Mukim, Pawang Uteun bertindak sebagai penengah.

"Kami yang akan menyelasaikan masalah dan kami juga mengantisipasi jangan sampai timbul masalah antar masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengawasan hutan, dan jika tidak mampu kami selesaikan tetap akan kami bawa kepada Imum Mukim" ujar Ridwan.

Ridwan juga berharap supaya hutan yang sudah belasan tahun dijaganya agar secepatnya berganti status menjadi hutan adat.

Berdasarkan kajian usulan penetapan hutan adat Mukim di Aceh yang dilakukan oleh Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat Universitas Syiah Kuala di tiga Mukim tersebut menunjukkan hasil bahwa konflik antara Gampong dan Mukim seperti yang sebelumnnya dikhawatirkan oleh KLHK kecil kemungkinan untuk terjadi.

Ketua tim Peneliti, Dr. Teuku Muttaqin Mansur mengatakan, pengajuan usulan hutan adat oleh Mukim sudah tepat, karena wilayah hutan adat ini dikelola oleh mukim yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang struktur pemerintahannya mengkoordinir desa-desa.

Secara historis mukim memiliki wilayah hutan yang dikelola secara turun temurun.

Selain itu di Aceh juga terdapat Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang dapat menyelesaikan persengkataan persoalan adat. LWN merupakan lembaga yang diamanatkan untuk membina dan mengawasi lembaga-lembaga adat di Aceh.

Melalui hutan adat mukim semua masyarakat desa memiliki hak untuk mengelola hutan di bawah pengawasan mukim.

"Sekalipun, ada gampong (desa) tidak beririsan dengan hutan, tetapi karena gampong tersebut dalam satu mukim, maka tetap dapat memanfaatkan dan mengelola hutan adat mukim. Praktik ini sudah dilakukan turun temurun," ujar Muttaqin.

Hutan yang diusulkan sebagai hutan adat oleh tiga mukim tersebut saat ini statusnya milik negara baik hutan lindung dan hutan produksi. Namun, sebagian telah bersalin menjadi wilayah konsesi perusahaan hutan tanaman industri.

Para mukim khawatir suatu saat hutan-hutan di wilayah mukim justru akan menjadi wilayah konsesi perusahaan, sementara warga butuh lahan untuk aktivitas ekonomi.

"Pengelolaan hutan adat oleh mukim tidak merusak hutan, justru memperbaiki kondisi hutan," ujar Muttaqin.

Syarat pengusulan hutan adat telah terpenuhi, mulai dari penetapan peta kawasan, persetujuan bupati, hingga persetujuan semua kepala desa di wilayah mukim.

Kini penantian panjang Pemerintahan Mukim di Pidie untuk diberi hak penguasaan hutan menanti jawaban dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.