Titik Nol Banda Aceh, Gampong Pande Tak Layak Jadi Lokasi Pengolahan Tinja

Makam raja-raja dan ulama Aceh di Gampong Pande. Foto: Fakhrurrazi.
Makam raja-raja dan ulama Aceh di Gampong Pande. Foto: Fakhrurrazi.

Ketua Fraksi Partai Keadila Sejahtera (PKS) Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Tuanku Muhammad menyanyangkan terbitnya surat dari Pemko Banda Aceh kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk melanjutkan pembangunan IPAL tersebut.


Tuanku mengatakan pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande dan Gampong Jawa, di Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh, tidak layak dilanjutkan. Terutama terkait status kawasan itu yang menjadi bekas Kerajaan Aceh Darussalam. 

“Ini adalah daerah yang menyimpan banyak peninggalan nisan kuno. Lokasi itu juga merupakan titik nol kilometer Banda Aceh,” kata Tuanku, Seni, 1 Maret 2021.

Menurut Tuanku, di lokasi tersebut, seharusnya tidak dilakukan pembangunan-pembangunan yang bersifat merusak situs-situs peninggalan sejarah yang ada. Daerah ini merupakan cikal bakal Kerajaan Aceh Darussalam atau yang dikenal dengan nama Darut Donya.

"Pada saat pembangunan awal memang sudah diprediksi di situ akan ditemukan situs-situs makam. Ternyata pada penggalian IPAL pertama, benar ditemukan nisan-nisan tersebut," ujar Tuanku.

Setelah ditemukan nisan tersebut, lanjut Tuanku, pada 2017 mencuat agar pembangunan proyek IPAL itu dihentikan sampai adanya penelitian lebih lanjut. Kemudian, pada Februari 2021, Pemko Banda Aceh berdasarkan hasil rekomendasi yang diinisiasi oleh PUPR melanjutkan proyek pembangunan sarana pengolahan limbah di lokasi tersebut.

"Kita lihat respon masyarakat banyak menolak dan sangat sedikit yang memberikan pandangan mendukung. Inilah yang harus kita pahami bahwa ada keinginan bersama agar proyek itu dihentikan," ungkapnya.

Tuanku meyakini di kawasan Gampong Pande dan Gampong Jawa tersebut masih banyak lagi peninggalan-peninggalan kuno lainnya yang masih terkubur dan tertimbun. Seharusnya, kata dia, pihak terkait melakukan kajian konservasi sejarah yang lebih luas.

Tuanku juga menganggap bahwa sampah dan limbah di kawasan itu menghilangkan kemuliaan warga Aceh. Nisan yang ada di kawasani tu, kata Tuanku, bukan hanya batu. Itu adalah catatan sejarah dengan tulisan epigraf, seperti kaligrafi, dengan sejumlah pesan di dalamnya.