Tolak Lahan Sawit di Kawasan Mangrove, Aktivis Lingkungan di Langkat Dikriminalisasi

Akksi menolak kriminalisasi terhadap dua aktivis lingkungan di Langkat, Sumatera Utara. Foto: RMOLSumut.
Akksi menolak kriminalisasi terhadap dua aktivis lingkungan di Langkat, Sumatera Utara. Foto: RMOLSumut.

Masyarakat yang menamakan diri Gerakan Penyelamatan Hutan Mangrove Pantai Timur Langkat (Gempita) mengutuk keras kriminalisasi terhadap Syamsul Bahri dan Samsir di Langkat. Syamsul Bahri dan Samsir merupakan ketua dan anggota kelompok Tani Nipah yang pada 2018 mendapatkan SK perjanjian pengelolaan hutan berbasis kemitraan dengan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) 1 (satu) Stabat.


SK ini tercantum pada SK Nomor SK.6187/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) antara Kelompok Tani Nipah Dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Stabat, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, seluas lebih kurang 242 hektare.

Berbekal SK tersebut, Kelompok Tani Nipah pun melakukan berbagai upaya rehabilitasi kawasan dengan penanaman mangrove atau bakau jenis Rhizopora dan Nipah. Selain menanam mangrove mereka juga membuka benteng agar air leluasa keluar masuk untuk mengairi wilayah kelola masyarakat.  

Namun, dalam areal konsesi terdapat perkebunan kelapa sawit sekitar 65 hektare yang diduga tidak memiliki izin dan berada di Pulau Nibung (Pulau Serawak). Padahal areal tersebut merupakan hutan penyanggah dan merupakan sumber mata pencaharian nelayan pencari ikan, udang, dan berbagai biota lainnya dari 3 kecamatan, yaitu Tanjung Pura, Gebang dan Brandan.

Akibatnya, Kelompok Tani Nipah kerap mendapatkan teror dan intimidasi dari orang yang tidak dikenal dengan menebangi pohon yang mereka tanami. Bahkan wilayah konsesi ini dijaga oleh oknum TNI (marinir). Kejadian ini telah dilaporkan kepada KPH tingkat I Stabat, Gakum, dan sudah dilaporkan secara resmi ke Polres Langkat, namun hingga saat ini kasus penebangan pohon tersebut tidak dilanjutkan.

Akibat konflik yang terus menerus terjadi dan tidak berkesudahan akhirnya pada 8 Februari 2021, Syamsul Bahri dan Samsir, justru mendapatkan surat panggilan dari kepolisian sektor Tanjung Pura Kabupaten Langkat Nomor S.Pgl/11/II/Res 1.6/2021/Reskrim dan Nomor  S.Pgl/12/II/Res 1.6/2021/Reskrim, atas Pengaduan dari Harno Simbolon.

Samsir dan Syamsul diminta hadir pada Rabu, 10 Februari 2021, pukul 12.00 WIB untuk dimintai keteranganya sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana pengeroyokan dan atau penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama pada 18 Desember 2020 pukul 08.30 WIB, di Dusun III Lubuk Jaya, Desa Kwala Serapuh, Kecamayan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.

"Status tersangka yang diterapkan pada Syamsul Bahri dan Samsir sangat tidak beralasan karena mereka berdua belum pernah diperiksa dan dimintai keterangan terkait tuduhan yang disampaikan dari saudara Harno Simbolon," kata perwakilan Gempita, Khairul, seperti dikutip dari Kantor Berita RMOLSumut.

Dalam pernyataan sikapnya, Gempita mendesak agar Samsir dan Syamsul Bahri segera dibebaskan karena keduanya merupakan pejuang penyelamat lingkungan. Mereka juga meminta agar pihak kepolisian jeli melihat pelaku kejahatan lingkungan yang sebenarnya dan mengusut tuduhan palsu terhadap keduanya.