UMKM Dalam Ruang Simulakra

Ilustrasi: 123rf.
Ilustrasi: 123rf.

PANDEMI Covid-19 telah memberi efek domino multisektoral (kesehatan, sosial, dan terutama ekonomi). Membuat semua orang terpacu untuk berpikir keras agar ekonomi terus berjalan dengan tetap memperhatikan faktor kesehatan.

Berbagai skenario dilakukan, dan akhirnya kita menemukan dan tertolong oleh kekuatan ekonomi berbasis konsumsi yang relatif memiliki imunitas terhadap guncangan pandemi di level global.

Kita ditopang oleh konsumsi rumah tangga, kekuatan domestik yang mendorong aktivitas ekonomi riil.

Pemerintah lalu memperluas spektrum upaya memacu konsumsi tersebut dengan mengoptimalkan ekonomi digital. Sektor ekonomi ini bahkan bisa jadi tumpuan di era adaptasi kebiasaan baru. Sebab memiliki resiliensi di tengah pandemi.

Jika mengacu pada survei yang dilakukan Redseer tahun 2020, maka ada sebanyak 51 responden di Indonesia yang mengaku bermigrasi menggunakan aplikasi belanja selama pandemi.

Migrasi itu lantas memompa volume ekonomi permintaan di ruang e-commerce. Melonjak 10 kali lipat jika dibandingkan sebelum pandemi.

Itu sisi positifnya. Sisi lainnya ternyata berakibat buruk terhadap ekonomi riil kita. Ada situasi dimana psikologi konsumen kita masuk dalam sebuah ruang yang disebut Jean Baudrillard sebagai ruang simulakra (simulacrum).

Ruang simulakra adalah ruang yang berisi realitas-realitas semu (hiperreality). Menurut Baudrillard, ada satu fase ketika citra menjadi faktor dominan yang menentukan seseorang mengkonsumsi suatu barang.

Citra itu, yang ditampilkan layanan hiburan video on demand yang makin beragam dan mencengkram. Demikian pula layanan streaming musik.

Akibatnya, konsumen dalam negeri kita tak lagi menjadikan kecintakan terhadap produk dalam negeri untuk membeli suatu barang. Tapi citra dan tren-lah yang jadi faktor terbesarnya.

Kita jadi kudet ketika ketinggalan membeli produk-produk viral di kanal-kanal digital.

Ya, optimalisasi ekonomi digital itu jadi disalahartikan. Dimanfaatkan sebagian pihak untuk menumbuhkan ekonomi digital, namun tanpa disadari menggerus UMKM kita.

Itulah mengapa Presiden Jokowi berkali-kali mengungkapkan kegeramanannya, manakala berjalan melihat pusat-pusat perbelanjaan di tanah air yag dipernuhi produk-produk asing ketimbang produk-produk umkm dalam negeri.

Paling anyar, Presiden Jokowi marah besar setelah mendapati laporan dari Kementrian Perdagangan terkait adanya e-commerce yang menjual produk barang lintas negar barang impor) dengan praktik predatory pricing yang membunuh UMKM di Indonesia.

Laporan tersebut jelas menimbulkan kekecewaan pada Presiden dan seluruh pihak terkait karena adanya praktik yang tidak adil dalam perdagangan digital. Akibat kebijakan yang terlalu longgar terhadap produk-produk dari luar.

Bagaimana tidak geram, jika dalam lima tahun terakhir (termasuk semasa pandemi) impor barang konsumsi tumbuh rata-rata 6,88% per tahun. Jauh lebih cepat ketimbang pertumbuhan impor bahan baku/penolong (0,41 persen) dan barang modal (0,06 persen).

Sehingga ada kecenderungan di prekonomian indonesia bahwa ada yang lebih suka jadi pedagang ketimbang industriawan.

Menurut Mendag Muhammad Lutfi, salah satu barang konsumsi yang banyak diimpor dan memukul UMKM dalam negeri adalah pakaian jadi (clothing). Produk ini memiliki kode HS 84.

Kemajuan teknologi tidak bisa tidak selalu melahirkan wajah ganda. Satu sisi memberi keuntungan bagi pemakai manfaatnya, sisi lain memberi dampak buruk bagi kemajuan itu sendiri. Seperti dalam upaya membangun ekonomi digital kita.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejatinya kita telah mampu menciptakan lingkungan kondusif untuk membangun ekonomi digital kita. Sehingga ekonomi digitalpun bertabur pesona. Menjadi magnet bukan saja karena menjanjikan cuan amat besar, tapi juga ampuh menciptakan dampak sosial yang nyata.

Terutama di masa pandemi, tema ekonomi digital bahkan selalu tidak luput menjadi sajian menu di panggung-panggung seminar daring atau time line media sosial kita. Tentu saja bukan karena sekadar enak diperbincangakan, namun juga asyik dipraktikan.

Meski begitu, kita juga tentu tidak bisa asal menunjuk hidung pihak-pihak tertentu, karena seperti disebut di awal tulisan ini, efek pandemi memang begitu komplek.

Apalagi saat ini kita telah cukup berhasil mendorong terjadinya penyesuaian perilaku masyarakat. Misalnya mengendalikan konsumsi, berhemat mengantisipasi krisis, dan beradaptasi beralih memakai teknologi digital untuk menopang konsumsi.

Sayangnya, tatkala kita mulai mengorkestrasi gemuruh ekonomi digital sebagai bagian penting dalam skenario pemulihan ekonomi, tak kita sadari produk UMKM kita ternyata mulai tergerus oleh barang-barang impor.

Saya sangat setuju dengan ajakan Presiden Jokowi dalam Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan di Istana Negara Jakarta, Kamis (4/3/2021) tentang perlunya ajakan untuk mencintai produk-produk Indonesia (UMKM). Dan jika diperlukan kita gaungkan juga ‘benci’ produk-produk dari luar negeri.

Jokowi menyampaikan ajakan tersebut karena beliau kesal dengan praktik perdagangan digital yang berperilaku tidak adil terhadap UMKM. Jokowi ingin kita keluar dari ruang simulakra yang membuat kita sulit melihat realitas kita sesungguhnya.

Bahwa penting untuk memilih produk UMKM kita ketimbang produk dari luar.

Meski begitu, tidak bisa kita sekadar mengajak untuk mencintai dan mengkonsumsi produk-produk UMKM semata. Kita perlu melakukan perombakan kebijakan. Dimana kebijakan perdagangan juga harus diatur.

Berbagai perjanjian internasional yang dibuat sejak lama, yang menyulitkan Indonesia harus dinegosiasi ulang dan dicarikan titik temunya.

Bisa jadi, jika kebijakan tarifnya dikurangi/dilemahkan, maka kebijakan non tarif harus diperkuat. Pemerintah juga sudah buat kebijakan, 30 persen dari belanja BUMN harus menyerap produk UMKM, ini bagus dan sebaiknya diikuti semua pemerintah daerah se-Indonesia. Beri mereka (UMKM) kebijakan afirmatif agar tumbuh.

Begitu juga dalam konteks kebijakan fiskal. UMKM harus dipastikan mendapat insentif pajak yang meringankan, tidak memberatkan. Jika harus jujur, masih ada banyak UMKM yang memilih untuk tidak PKP atau mencabut status PKP karena menganggap menghambat ruang gerak mereka.

Efeknya bisa ditebak, UMKM sulit berkembang dan meningkatkan omsetnya.

Persoalan lain yang membutuhkan afirmasi adalah terkait rantai pasok (suplly chain). Jujur saja, jika kebanyakan UMKM kita saat ini menghadapi persoalan rantai pasok yang tidak ideal.

Dimana seperti disebut di atas terlalu banyak orang di negeri ini lebih suka jadi pedagang (trader) ketimbang industriawan.

UMKM sudah tergopoh-gopoh membangun produknya, tapi giliran masuk tahap distribusi dibuat puyeng lantaran rantai produksi yang rumit dan panjang. Idealnya, barang-barang hasil produksi UMKM dapat didistribusikan langsung ke retail-retail, sehingga share margin di kedua belah pihak jadi menguntungkan.

Tapi faktanya, produk-produk itu muter-muter di tangan para trader. Istilah pasarnya, transaksi pantat to pantat.

Pada akhirnya, upaya membangun kecintaan terhadap produk-produk UMKM dalam negeri kembali lagi kepada apa yang ada dalam pikiran kita.

Kata mendiang Pramoedya Ananta Toer, kita harus sudah adil sejak dalam pikiran. Jika isi kepala dipenuhi informasi dan citra tentang produk-produk luar negeri, maka apa yang hari ini kita bicarakan adalah nothing.

Penulis adalah dosen manajemen IBM Bekasi.