WALHI Aceh Sebut Kerusakan Lingkungan Dimulai dari Pulpen Pejabat

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin mengatakan, kebijakan salah pemerintah dalam membuat kebijakan terhadap laju investasi industri padat modal yang rakus ruang lebih dominan merusak lingkungan, dari pada padat karya. Hal itu kemudian berdampak pada peningkatan kesejahteraan.


"Lebih baik menjaga dari pada dijaga, jangan sampai kita menjadi tumbang, kerusakan lingkungan dimulai dari pulpen pejabat," kata Ahmad Shalihin dalam diskusi publik tentang tambang yang digelar oleh Ikatan Pelajar Kluet Selatan (IMPAKS), di salah satu warung kopi Banda Aceh, Sabtu, 18 Maret 2023.

Shalihin menyebutkan, Aceh memiliki komoditi pertanian penting seperti kopi, pala, lada, pinang, jeruk nipis. Komoditi ini yang termasuk bagus menurut Shalihin lalu dinafikan oleh sawit dan tambang,

"Minyak dan Gas (Migas) yang semuanya padat modal, sebab butuh modal besar dan lahan yang luas. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan juga besar, akibat dari industri tersebut mengakibatkan krisis lahan bagi petani," ujar Shalihin.

Menurut Shalihin, lahan petani di Aceh saat ini sudah terbatas, jumlah lahan yang tersedia hanya 0,4 hektare untuk satu orang petani. Hal ini akan membuat kemiskinan di Aceh bertambah besar.

"Jika memiliki lebih dari tiga orang anak dan menyekolahkan dengan tingkat kebutuhan pokok yang mencekik leher, itu akan menyuburkan kemiskinan di Aceh," ujar Shalihin.

Walhi menilai kebijakan pemerintah terhadap laju investasi industri padat modal tersebut, sering diperparah dengan adanya tebang pilih dalam penegakan hukum. Proses penegakan hukum terhadap kasus lingkungan hidup, seperti tambang ilegal, perburuan satwa liar, pelanggaran ijin yang dilakukan oleh korporasi legal masih minim.

"Kalaupun ada dipilih - pilih," ujar Shalihin.

Selain itu penegakan hukum dinilai baru terjadi ada kejadian luar biasa. Contoh kasus adalah penegakan hukum di sektor tambang ilegal.

"Kalau sudah banjir dan longsor baru sibuk pada penegakan hukum, yang lebih ironis, pelaku sudah diamankan lalu tidak jadi, karena ada pihak-pihak yang mengamankan dengan berbagai alasan, lalu tersangka dilepas," kata Shalihin. 

Tidak hanya itu, WALHI Aceh juga menyorot terkait degradasi hutan yang tidak hanya diakibatkan oleh kegiatan ilegal tapi juga legal. Kegiatan tersebut seperti bangunan jalan dan infrastruktur yang semakin tidak terkendali. 

"Kalau perambahan petani hanya mampu membuka lahan maksimal lima hektare, tapi korporasi sekali buka bisa ratusan hektare dan itu juga dimulai dari kebijakan," kata dia. 

Kebijakan tersebut kata Walhi, diperparah lagi dengan undang-undang Ciptaker, undang-undang minerba, hingga aturan di tingkat menteri yang menyasar kawasan hutan. 

"Ujung dari sengkarut seperti kebijakan, tata ruang yang salah, lahirnya kebijakan yang tidak pro lingkungan yang ujung-ujungnya terjadi bencana ekologi," ujar Shalihin.