Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh meminta pembangunan jalan tembus dari Jambur Latong, Kutacane, Aceh Tenggara (Agara) sampai ke perbatasan Langkat Sumatera Utara tidak dilanjutkan, karena dapat memicu penebangan kayu secara (Ilegal logging) hingga habitat satwa terganggu.
- WALHI Aceh Sebut Kerusakan Lingkungan Dimulai dari Pulpen Pejabat
- Walhi Minta Pemerintah Aceh Berikan Rapor Merah kepada PT Mifa Bersaudara
- WALHI Desak PKS di Atam yang Belum Pasang Sparing Berhenti Beroperasi
Baca Juga
"Jalan sepanjang 18,52 Km dari jalan Nasional Aceh Tenggara ke perbatasan Langkat Sumut melintasi Hutan Lindung sepanjang 7,75 Km. Pembangunan jalan dalam kawasan hutan memiliki dampak jangka panjang terhadap kelangsungan lingkungan hidup," ujar Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Shalihin dalam keterangan tertulis, Jumat, 17 Maret 2023.
Shalihin mengatakan, selain Ilegal logging, dampak buruk terbukanya akses ke dalam kawasan hutan, maka akan terjadi kejahatan lingkungan lainnya seperti perburuan satwa. Ilegal logging tersebut akan berdampak terhadap terjadi bencana ekologi, terlebih Agara memiliki riwayat bencana banjir bandang yang cukup parah.
“Selain itu bakal meningkatnya perambahan hutan, habitat satwa juga terganggu, sehingga konflik satwa semakin meningkat,” kata Shalihin
Shalihin menjelaskan, bahwa berdasarkan hasil pemantauan WALHI Aceh di lokasi, khususnya di kawasan Hutan Lindung (HL) Serbo Langit, vegetasi hutannya masih relatif baik. Kawasan tersebut merupakan habitat satwa kunci orangutan dan kambing hutan.
"Selain itu kawasan tersebut juga merupakan sumber air bagi masyarakat Kecamatan Deleng Pokhkison, Lawe Bulan, dan Lawe Sumur," ujar Shalihin.
Menurut Shalihin, kawasan hutan lindung Serbo Langit juga merupakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai zona penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Bidang III Stabat Sumatera Utara. Sebelum pembangunan jalan tembus itu dikerjakan, di kawasan hutan lindung Serbo Langit sudah marak terjadi perambahan dan illegal logging sejak 2018 - 2020.
"Ini mengakibatkan terjadinya banjir bandang yang berdampak putusnya jembatan dan merusak lahan pertanian di Kecamatan Deleng Pokhkison, Lawe Bulan, Lawe Sumukh," ujarnya.
Kemudian kata Shalihin, pada 2019 dan 2020 dalam kawasan hutan lindung Serbo Langit telah dibuka jalan dengan sepanjang 9 km. Akibatnya menjadikan kawasan hutan lindung tersebut menjadi terbuka, yang menyebabkan semakin menyuburkan kegiatan perambahan hutan, tanpa ada pengawasan oleh pihak terkait.
Berdasarkan temuan WALHI Aceh di lapangan, perambahan masih terus terjadi dan di pinggir jalan yang sudah dibangun tersebut hutan mulai terbuka, bahkan ada sejumlah hutan lindung telah dirambah.
"Sejumlah kayu yang diduga hasil ilegal logging tergeletak di pinggir jalan, sebelum diangkut menggunakan becak motor ke tempat yang dapat diakses oleh roda empat," ujar Shalihin.
Cara lain yang dilakukan pelaku perambahan hutan yaitu dengan mengangkut kayu melalui sungai. Mereka menunggu saat debit air sungai meningkat pada musim hujan, kemudian kayu-kayu yang diduga hasil perambahan dihanyutkan hingga ke hulu.
“Jalan tembus ini aja belum selesai semua, perambahan terus terjadi, apa lagi kalau sudah jalan mulus, bisa lebih parah,” ujar Shalihin.
Untuk itu menurut Shalihin, WALHI Aceh meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk tidak mengeluarkan izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) untuk pembangunan jalan tembus tersebut. Sehingga hutan tidak terus terdegradasi akibat mudahnya akses bagi perambah hutan.
“Sekarang saja jalan yang baru selesai 9 Km, perambahan hutan tak terkendali dan tidak ada pengawasan, konon lagi kalau jalan sudah mulus,” tegas Shalihin.
Selain itu kemiringan bukit sepanjang jalan tembus yang akan dibangun antara 45-75 derajat. Menurut Shalihin, dengan kondisi kemiringan seperti itu, selain rawan longsor, juga tidak membuat masa tempuh menjadi cepat.
Menurut Shalihin, kendati jarak tempuh dapat dipangkas menjadi 121 kilometer dibandingkan dari Jalan Tanah Karo menuju Sumatera Utara sejauh 220 kilometer. Namun, dengan kondisi kemiringan jalan yang bisa mencapai 75 derajat dan ketinggian 715 -720 Mdpl, maka waktu tempuh juga akan sama dengan jalan sebelumnya.
“Makanya lebih baik dilebarkan dan diperbaiki jalan yang sudah ada sekarang, karena diperkirakan jarak tempuh juga gak jauh-jauh beda, hanya memperpendek jarak saja, waktu tempuh beda tipis,” ujar Shalihin.
- WALHI Aceh Sebut Kerusakan Lingkungan Dimulai dari Pulpen Pejabat
- Walhi Minta Pemerintah Aceh Berikan Rapor Merah kepada PT Mifa Bersaudara
- Kejati Aceh Periksa 27 Saksi Dugaan Korupsi Pengadaan Sapi Distan Agara