Wali Nanggroe: Aceh Alami Deforestasi Tidak Kurang dari 10 Ribu Hektare Per Tahun

Rapat Pembahasan Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Aceh di Jakarta. Foto: Humas Wali Nanggroe.
Rapat Pembahasan Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Aceh di Jakarta. Foto: Humas Wali Nanggroe.

Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haythar, menyebutkan kondisi hutan saat ini mulai kritis. Per tahun, kata dia, hutan Aceh mengalami deforestasi tidak kurang dari 10 hektare per tahun.  


Menurut Malik, deforestasi tidak hanya disebabkan ilegal logging (perambahan ilegal). Namun, kata dia, juga karena bencana alam, konversi hutan ke perkebunan. 

Akhir-akhir ini, Malik mengaku sudah mendapatkan data Pertambangan Ilegal (Ilegal Mining) Tanpa Izin (PETI). Pertambangan ini beroperasi di kawasan hutan Aceh. 

“Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab utama banjir, longsor dan kebakaran. Ini tren yang terjadi beberapa tahun terakhir," kata Malik, saat rapat pembahasan kewenangan pengelolaan sumber daya hutan Aceh di Jakarta, Jumat, 24 Februari 2023.

Malik menjelaskan, saat ini pengelolaan Kawasan Hutan Lindung (KHL) yang ditetapkan berdasarkan hasil skoring oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ternyata belum optimal. 

Padahal, kata Malik, hutan lindung mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dibandingkan dengan Kawasan hutan produksi yang ada, melalui pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). 

Dari data KLHK selama lima tahun terakhir, kata dia, menunjukkan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui pemanfaatan hutan Aceh tidak lebih Rp 2 miliar per tahun dan menempatkan Aceh pada urutan 10 terendah. 

"Nilai itu sangat kecil dibandingkan luas kawasan hutan yang telah ditetapkan pengelolanya, menjadi bukti tidak maksimalnya pemanfaatan hutan bagi masyarakat sekitar kawasan," sebut Malik. 

Pada rapat tersebut, Malik Mahmud mengatakan, sebanyak tiga perusahaan telah dicabut izin konsesi oleh BKPM Pusat. Karena menelantarkan lahan dengan total 130.634 hektare.

Perusahaan tersebut diantaranya, PT Rimba Penyangga Utama seluas 6.150 hektare, PT Aceh Inti Timber seluas 80.084 hektare, dan PT Lamuri Timber seluas 44.400 hektar.

"Dari hasil evaluasi yang dilakukan, kami telah menyusun konsep pengelolaan sumberdaya hutan untuk pemulihan kerusakan yang telah terjadi dan untuk keberlanjutan perdamaian Aceh," kata Malik.

Di samping itu, Malik Mahmud menyebutkan, pengelolaan hutan Aceh akan disusun menjadi suatu policy brief kepada Menteri LHK dan Presiden Republik Indonesia. Sehingga menjadi dasar penetapan kebijakan pengelolaan hutan di Aceh.

Malik menjelaskan, pengelolaan hutan Aceh bukan kewenangan pemerintah pusat. Hal ini tertuang dalam pasal 7 dan pasal 156 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) tentang pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Aceh.