Wartawanku Sayang, Wartawanku Malang

Ilustrasi: newworcesterspy
Ilustrasi: newworcesterspy

HARI Pers Nasional tetap dirayakan dengan begitu suka cita, bahkan di tengah pandemi. Beragam kegiatan dibuat untuk memperingati. Bahkan Kepala Negara memberikan waktu khusus untuk memperingati hari itu bersama para pejabat, pengusaha dan insan pers, tentunya. Mulai di gedung hingga di kapal. 

Bagi sebagian wartawan, hari besar ini cukup diperingati dengan syukur. Tanpa perlu hadir di seremonial yang memakan banyak biaya. Toh, para hari itu, mereka tetap harus memenuhi tugas dari redaksi untuk mencukupi kebutuhan tayang berita. 

Sore kemarin, saya membaca sebuah artikel di Republika yang menyebut wartawan masih diupah tak layak. Menurut survei sebuah organsisasi profesi wartawan terhadap sekitar 250 wartawan, beberapa tahun lalu, gaji reporter di Indonesia menempati urutan keempat paling bawah, setelah Cina, Vietnam, dan India. 

Sebesar 35 persen mendapat gaji di antara Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. 20 persen menerima gaji antara Rp 1 juta-Rp 2 juta. Hanya delapan persen dari mereka yang menerima gaji di atas Rp 2 juta. Saya tak punya kapasitas membantah survei itu.

Sepertinya menjadi wartawan memang ditakdirkan untuk hidup susah. Sejak zaman dulu, sekitar era 60-an, banyak wartawan yang meliput berita naik sepeda atau becak. Padahal tugas mereka tidak dapat dibilang ringan. 

Mereka harus menjumpai orang-orang yang dijadikan narasumber. Mereka pun harus rela menunggu jika ternyata si narasumber memiliki agenda lain. Beruntung saat ini biaya telepon atau pesan pendek semakin murah, sehingga waktu yang ada dapat dimaksimalkan. 

Dengan tarif internet dan telepon yang semakin murah, mereka juga dapat berhemat. Setidaknya uang yang seharusnya dikeluarkan untuk membayar bensin atau ongkos transportasi bisa digunakan untuk membeli token listrik atau mencicil uang sewa rumah karena berita bisa didapat lewat telepon atau whatsapp. 

Seorang teman bercerita tentang kesusahannya mencari uang untuk menikahkan anak gadisnya. Bantuan dari kantor berita tempat dia bekerja tak cair. Padahal uang yang dibutuhkan untuk pesta pernikahan itu bukan sedikit. Namun tetap saja hingga saat ini dia bertahan sebagai wartawan. 

Untuk mendapatkan uang tambahan, tak jarang wartawan memiliki kerjaan sampingan. Mulai dari membuka bengkel motor, laundry,  menulis buku, atau membuka warung kopi. Ada yang juga yang menjadi humas di sebuah instansi. Pandai-pandai si wartawan lah

Di saat yang sama, hampir tak terlihat upaya dari asosiasi profesi wartawan mendorong agar upah layak untuk wartawan dapat dipenuhi. Mungkin ada demonstrasi yang dilakukan oleh wartawan, menuntut upah layak. Namun sepertinya urusan kenaikan gaji dan peningkatan kesejaheraan ini jalan di tempat. 

Dalam sebuah diskusi, orang-orang yang saya anggap memahami arti independensi wartawan malah mengusulkan agar si wartawan meningkatkan kompetensi sehingga dia bisa mendapatkan kerjaan tambahan alih-alih menekankan pentingnya perusahaan pers bekerja lebih serius dalam mencukupi kebutuhan wartawan. Mungkin saya terlalu bodoh untuk memahami hal itu. 

Dalam dunia kerja, seharusnya perusahaan menjamin hak-hak pekerja tercukupi. Sebagai timbal baliknya, perusahaan pers berhak menuntut karya jurnalistik yang terbaik, yang dapat si wartawan berikan. Bukan sekadar berita onani atau meng-copy paste rilis. Sepanjang perusahaan memenuhi hak-hak mereka, maka si wartawan wajib melaksanakan tugas yang diembankan oleh perusahaan kepadanya. 

Alhasil, timbul sebuah penyakit kronis di kalangan wartawan saat ini. Penyakit itu adalah rasa malas. Tak ada lagi budaya membedah tulisan di kalangan wartawan. Tak ada diskusi panjang mengenai diksi. Tak ada pertarungan ide untuk liputan.

Tak ada budaya malu saat pulang ke kantor membawa berita sampah. Semua sudah tersaji dan wartawan cukup mengubah sedikit kata atau titik-koma sebelum meneruskan sebuah berita kepada redakturnya. 

Tantangan lain yang perlu dibahas bersama-sama adalah konflik kepentingan antara pemilik media dan wartawan. Karena saat ini, banyak wartawan yang juga berstatus sebagai pemilik media, bahkan memiliki banyak wartawan yang lebih muda sebagai karyawan. Di masa yang akan datang, Dewan Pers mungkin perlu memikirkan hal ini agar saat si pemilik media yang juga wartawan tak bingung menempatkan diri saat membahas kesejahteraan wartawan. 

Apapun ceritanya, tetap saja menjadi wartawan adalah suatu kehormatan dalam hidup saya. Terlalu banyak pengalaman yang menempa diri sejak saya memutuskan untuk mendalami profesi ini. Seorang senior pernah berkata, “wartawan itu setingkat di atas jongos kantor dan setingkat di bawah presiden.” Saat mendengar kata-kata itu, semangat saya sedikit bertambah walau gaji tidak. 

Seorang wartawan senior lain, guru saya, pernah berujar mengomentari banyaknya wartawan yang berpindah-pindah media. “Wartawan itu setia pada profesi, bukan pada media.” Mudah-mudahan saya tak salah memahami perkataannya. 

| Penulis adalah wartawan