YARA Minta Pemerintah Aceh Selesaikan Isu Gereja di Aceh Singkil

Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin. Foto: net
Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin. Foto: net

Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, meminta Pemerintah Aceh agar serius menyelesaikan isu gereja di Kabupaten Aceh Singkil. Bahkan, kata daia, Kementerian Hukum dan HAM Repbulik Indonesia juga mempertanyakan masalah itu melalui Kesbangpol, Kakankemenag dan FKUB Aceh Singkil.


“Kami mendapat laporan bahwa Kemenkumham memberi perhatian serius agar Aceh mau menangani masalah yang ada di Aceh Singkil dengan sunggung-sungguh dan sesuai perundang-udangan yang ada,” kata Safaruddin, di Banda Aceh, Senin, 13 September 2021.

Safaruddin mengatakan pada akhir Juli lalu, Kemenkumham mengirim surat khusus kepada para pejabat di Aceh untuk menjelaskan penanganan gereja yang belum mendapat izin di Aceh Singkil. Dari informasi yang diperoleh YARA, kata dia, surat itu belum diberikan jawaban oleh para pejabat di Aceh.

Menurut Safar, pada satu sisi Pemerintah Aceh terlihat serius dalam penanganan isu gereja ilegal di Aceh Singkil. Hal ini terbukti dari sikap Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, membentuk Tim Pembinaan dan Pengawasan Penanganan Perselisihan Tempat Ibadah.

Di sisi lain, kata Safaruddin, Pemerintah Aceh tidak serius dalam menangani rumah ibadah di Singkil. Sehingga isu tersebut terus berlarut. Sayangnya, kata dia, Tim Penanganan Perselisihan Tempat Ibadah tidak ada aksi nyata.

Safar menyebutkan dalam SK itu, koordinator tim adalah Asisten Pemerintahan dan Keistimewaan Aceh yakni Jafar. Semetara ketua tim dijabat Kepala Kesbangpol Aceh, Mahdi Efendi dengan pengarah adalah Sekda Aceh, Taqwallah. "Total ada 46 nama dalam tim itu, gemuk sekali tapi kerjanya tak jelas,” kata dia.

Untuk itu, Safar mendesak agar Gubernur Aceh dan juga DPR Aceh memanggil tim tersebut untuk menanyakan kinerja tim selama dibentuk. Selain itu, mempertanyakan juga bagaimana konsep penyelesaian perselisihan yang dapat diterima umat Islam dan Nasrani dengan tetap mengacu pada regulasi yang ada.

“Saya kira, bukan hanya gubernur, tapi DPR Aceh juga harus memanggil ketua dan koordinator tim. Jangan sampai tim ini hanya duduk manis di kantor sementara anggaran habis secara percuma,” kata Safaruddin.

Jika dari unsur pimpinan tim tidak mampu bekerja, kata Safaruddin, maka harus diganti agar tak menjadi beban bagi yang lain. Menurut dia, kerja tim penyelesaian perselisihan antar umat beragama itu berat.

“Dimana-dimana kita lihat, tim penyelesaian perselihan itu mempunyai wawasan tentang advokasi dan mediasi. Koordinator dan ketua tim harus memainkan peran sebagai mediator sehingga diterima semua pihak,” kata Safaruddin.