Ketua Yayasan Advokat Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin mengatakan tidak ada referensi apapun terkait Peta perbatasan Aceh tanggal 1 Juli 1956. Sehingga akan menjadi persoalan jika dimasukkan ke dalam draft draft revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
- Pj Acmad Marzuki Harus Rombak Struktur Jabatan Bank Aceh Pasca Penetapan Dirut Baru
- Airlangga: AMPG Adalah Generasi Penerus Kepengurusan Golkar
- Cegah Pengungsi Afganistan Masuk, Turki Blokade Perbatasan
Baca Juga
"Pasal 3 terkait dengan batas Aceh. Peta 1956 itu referensinya dimana, kan ada di MOU Helsinki, sekarang 1 Juli ketentuan yuridisnya dimana, petanya dimana," ujar Safaruddin kepada Kantor Berita RMOLAceh di Banda Aceh, Sabtu, 25 Maret 2023.
Saifuddin mengatakan dirinya pernah meminta peta tersebut kepada pihak sekretariat negara, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Wali Nanggroe, DPR Aceh dan juga Partai Aceh (PA), Namun semuanya menjawabnya tidak punya.
"Jadi kalau tidak ada ngapain di masukkan. Nanti kalau dimasukkan menjadi persoalan lagi. Harus jelas la, ini bicara undang-undang," ujar Safaruddin.
"Ada saya tanya PA, mereka juga ga punya, tapi tidak ada datanya, rusak kita, kita tidak ada landasan," ujarnya Safaruddin.
Safaruddin melihat ada semangat untuk ingin merevisi UUPA berbasis MoU Helsinki, tapi dirinya hanya melihat pada perbatasan 1 Juli 1956. Padahal menurutnya ada yang jauh lebih penting bagi masyarakat yaitu pembentukan Komisi bersama penyelesaian klaim, untuk menggantikan kerugian harta benda masyakarat korban konflik.
"Itu diamanahkan dalam MoU dan tidak tertampung dalam UU sebelumnya. Revisi ini saya dorong ini masuk, saya lihat tidak masuk," ujar Safar.
Lebih jauh Safar mengungkapkan bahwa dulu dirinya pernah menggugat ke pengadilan supaya itu (Komisi penyelesaian klaim) dibentuk, karena merupakan kebutuhan yang paling penting.
"Harta benda hilang di konflik, kerugian. Dimana uangnya sharing antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh. Mengembalikan harta benda yang hilang? itulah makna perdamaian yg digagas dulu," ujar Safar.
Safaruddin juga menyebutkan dalam revisi pasal 2, kata "Kecamatan" dalam pembagian wilayah dihapuskan. Namun yang menjadi persoalan pada pasal 112 kata Kecamatan kembali dimunculkan sehingga tidak sinkron dengan pasal sebelumnya.
"Kalau dihapus kan kecamatan kenapa di pasal lain ada camat," ujarnya.
Selanjutnya, menurut Safaruddin semangat desentralisasi (pengalihan kewenangan) dalam revisi UUPA sangat nyata terlihat. Dimana, kata dia, banyak kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang ingin dipangkas dan ditarik menjadi kewenangan pemerintah provinsi Aceh.
"Dalam hal ini apakah kabupaten kota sepakat, itukan belum ditanya, seperti pengelolaan pelabuhan," kata Safaruddin.
Tidak hanya itu, Safaruddin juga mengomentari pembentukan kawasan khusus di Aceh. Menurutnya jika pembentukan tersebut tanpa ada sokongan dari APBN tentu saja akan terbengkalai.
"Bagaimana itu memerlukan dana yang banyak, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, kalau tidak disupport oleh BUMN akan terseret, kadang kita ini nafsu besar, uang gada," ujarnya.
Safar menekankan bahwa pokok terpenting dalam merevisi UUPA harus merujuk pada MoU Helsinki. Selain itu salah satu yang terpenting yakni membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim. Hal ini sangat diperlukan untuk masyarakat korban konflik.
"Revisi ini saya dorong ini masuk, saya lihat tidak masuk. Dulu saya pernah menggugat ke pengadilan supaya itu dibentuk, ini serius itu kebutuhan yang paling penting, harta benda hilang di konflik, kerugian," ujar Safar.
Safar mengaku bahwa selama ini Pemerintah dan DPR Aceh tidak pernah melibatkan pihaknya dalam pembahasan revisi UUPA. Padahal pendapat dari masyarakat sangat dibutuhkan.
"Harapan saya, dibuka seluas-luasnya oleh DPR, UUPA milik masyarakat Aceh dan memiliki kepentingan bersama," ujar Safar.
- DPR Aceh Berharap Pemilu 2024 Berlangsung tanpa Konflik
- OJK Aceh Tanggapi Wacana Revisi Qanun LKS
- Kejari Abdya Diminta Usut Dugaan Penyerobotan Lahan Eks HGU PT CA